Bloggreeting

Bloggreeting!
Bloggreeting!

^o^

It sounds like birds around a tree.

Welcome to this blog!
Keep writing, keep believing! :)

PS: If you're suddenly feel dizzy or bored, it means I'm awesome. If you aren't, I'm more than it.

I'm real

My photo
Yogyakarta, Indonesia
One of chubbies. One of dwarfs.

Words I wanna die for

Why do you think life is happier than death? - Hashimoto, Silk

January 5, 2011

Jaring-jaring Ayah 5 (Selesai)

        "Ayah!" Teriakku dari dalam mobil.
Aku tahu dia tidak bisa mendengarku, tetapi Aku masih peduli padanya. Mobil yang kutumpangi tidak berhenti, terus melaju menyalip mobil di depan.
        "Pak Narto! Itu Ayah!" Aku menepuk pundak Pak Narto yang duduk di kursi supir.
Mobil terus melaju, bahkan semakin cepat.
        "Pak?" Aku mencondongkan badanku ke depan.
"Sudah kubilang..." ucap Lea pelan.
        "Lea, diam!" Bentak Pak Narto.
"Ayah di sana!" Aku ikut membentak.
        "Reno, diam!" Baru sekali ini kudengar Pak Narto membentakku.
Aku mengerutkan alis dan menyandarkan punggungku. Aku belum pernah merasakan suasana sejanggal ini. Beberapa detik kemudian terlewat dengan diam.
        "Reno," maaf," kata Pak Narto.
"Pak Narto sengaja?!"
        "Dengarkan dulu,"
"Berhenti, Aku mau keluar!"
        "Ini jalan tol, sekarang dengarkan..."
"Berhenti atau kuberhentikan sendiri!"
        Pak Narto memberhentikan mobil, kendaraan lain yang lewat spontan membunyikan klakson dan meneriaki kami. Aku mengambil semua barang yang berceceran di sekitarku dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Aku menarik tangan Lea dan mengajaknya keluar. Tanpa menengok belakang, Aku berjalan lurus ke tempat Ayah kecelakaan tadi. Lea berjalan di belakangku, ia kadang-kadang menarik seragam atau tasku, menyuruhku agar tidak berjalan terlalu cepat.
        Kami berdua menangis di sepanjang jalan. Aku bisa melihat dari jauh, mobil Ayah yang penyok, mobil-mobil yang menabraknya, dan sedikitnya dua mobil ambulans. Tapi Aku tidak kuat berlari, Lea juga. Saat sudah dekat dengan tempat kecelakaan, Lea tersandung dan jatuh. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menangis seperti yang ia lakukan sejak di mobil tadi. Aku juga tidak membantunya berdiri, kuyakin Lea tidak ingin berdiri. Aku lalu duduk di pembatas jalan di sampingnya, dan menangis bersamanya.

                                                                    ***

      "Ya, terima kasih," kata Pak Narto pada seorang perawat.
      Aku mengutak-atik hand phone-ku yang akhirnya bisa menyala, meskipun tidak untuk waktu lama. Sigit mengirim banyak sekali pesan, yang isinya menanyakan keadaanku, dia tampak khawatir. Aku belum bisa menjawab, karena di depanku sekarang ada Ayah yang tergeletak dalam keadaan koma, di sampingku ada Lea yang tertidur karena lelah, dan di lorong itu ada Pak Narto yang sedang mengurus suatu hal. 
      "Reno, semua yang diperlukan Saya taruh di meja ya," kata Pak Narto.
Aku hanya mengusap mata dan mengutak-atik hand phone lagi. Pak Narto lalu meletakkan sebuah map, sekantong kresek berwarna hitam dan dua kantong kresek berwarna putih, juga kunci mobil Ayah di meja tinggi di sebelah tempat Ayah berbaring.
       "Saya pulang dulu," Pak Narto cepat-cepat pamit dan pergi dari ruangan.

       Aku kaget saat tas Lea jatuh ke lantai dan membuat bunyi keras. Beberapa buku dan kertas berserakan. Aku melihat Lea masih tertidur, matanya sembap karena terus-terusan menangis. Aku bangun dari kursi dan membereskan kertas-kertas itu. Ada hasil ulangan Lea yang selalu menjadi nilai paling bagus di kelas, buku geografi yang tersampul rapi, sebuah pin lucu dengan gambar kelinci, dan surat undangan pertemuan wali murid.
       
Kepada Orangtua/ Wali murid: Leana Farda O.
Bapak Narto Kusuma  

Aku belum pernah melihat orangtua Lea, apa karena Aku tidak akrab dengannya selama ini? Tapi toh Aku akan bertemu dengan bapaknya juga nanti. Aku sudah berjanji akan membantunya. Apapun yang dilakukan Ayahku pada bapak Lea, Aku akan meminta maaf atas nama Ayah, dan mengurus semuanya.
        Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar yang terbuka sedikit. Aku membukanya dan menanyakan apa keperluannya.
        "Iya, permisi, Mas. Kunci mobil bapak yang dirawat di sini ketinggalan, tadi Saya disuruh orang di ambulan ke sini,"
        Kunci mobil Ayah? Bukannya sudah ditaruh Pak Narto di meja itu? Terlintas sesuatu di pikiranku yang membuatku cepat-cepat melihat surat undangan milik Lea yang masih kupegang, lalu lari ke meja tadi mengambil kunci mobil yang ada di situ. Aku melihat simbol di kuncinya, dan, ya, itu bukan kunci mobil Benz milik Ayah, tapi itu kunci mobil yang selalu dikendarai Pak Narto untuk mengantar, menjemput, dan belum lama tadi menabrak mobil Ayahku sendiri sampai Ayah jatuh koma. Tapi mengapa Pak Narto meninggalkan kunci mobil di sini? Tadi dia sudah pamit pulang, seharusnya...
        "Waaaa! Ada orang jatooh!" 
Teriakan seseorang dari kamar sebelah membuatku dan orang yang mengantar kunci tadi buru-buru ke jendela, menengok ke luar dan melihat seorang lelaki terkapar di bawah sana. 
        "Masya Allah, beneran! Orang beneran!" Teriak orang itu, ia lalu menyerahkan kunci mobil Ayah dan langsung lari ke lantai bawah.
         Ini lantai 4, tapi masih bisa terlihat bagaimana ciri-ciri laki-laki itu, laki-laki yang kutemui sejak 5 tahun yang lalu, yang sampai saat terakhir masih sopan berbicara denganku, yang sampai semenit lalu masih ingin kubunuh. 
        Aku membuat surat undangan tadi kusut, hampir sobek, malah. Lea terbangun, ia melepas kacamatanya dan bertanya,
        "Ada apa rame-rame?"
        Aku tersenyum padanya, dan mengatakan tidak ada apa-apa. Aku lalu mencoba tenang, duduk di sampingnya dan mulai mengobrol dengannya. Kami membicarakan banyak hal, dari sekolah sampai pengalamannya pindah rumah 3 kali. Aku tidak akan membiarkannya bicara tentang bapaknya, yang tanpa Lea sadari sekarang dirubung banyak orang karena baru saja menjatuhkan diri dari lantai atas sebuah rumah sakit.

                                                                        Selesai


Walkie Talkie