Bloggreeting

Bloggreeting!
Bloggreeting!

^o^

It sounds like birds around a tree.

Welcome to this blog!
Keep writing, keep believing! :)

PS: If you're suddenly feel dizzy or bored, it means I'm awesome. If you aren't, I'm more than it.

I'm real

My photo
Yogyakarta, Indonesia
One of chubbies. One of dwarfs.

Words I wanna die for

Why do you think life is happier than death? - Hashimoto, Silk

December 30, 2010

Jaring-Jaring Ayah 4

        Di mobil Aku berpikir keras, bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Lea sudah lumayan bisa diajak bicara, tapi pembawaannya tetap kalem, dan kepalanya masih saja tertunduk.
        Hmm, Aku tahu Ayah adalah seorang direktur yang sukses karena pengaruh program reality show, yang penuh sandiwara dan dibuat-buat. Aku sendiri pernah melihat pengambilan gambarnya, orang-orang itu dibayar untuk berakting marah atau menangis, mereka konyol. Meskipun begitu, itu tidak membuatnya bisa menyandiwarakan hidupku, bukan? Dia seakan senang melihat reaksiku yang seperti aktor patuh mengikuti instruksi sutradaranya.
        Mobil berhenti di pintu masuk jalan bebas hambatan, mengantri untuk masuk.
       "Saya ingin sekali membantu, tapi untuk melawan Bapak, sepertinya..."
"Makasih Pak Narto, niat Pak Narto udah cukup besar membantu kami." Aku sangat menghargai Pak Narto yang unjuk bicara.
       "Saya mengerti,"
       Pak Narto menjalankan mobilnya kembali setelah membayar karcis.
       "Reno..." Panggil Lea.
Aku menoleh, Lea belum sempat berbicara, tiba-tiba hand phone milikku berdering. Aku melihatnya, ternyata dari Sigit.
       "Kenapa, Git?"
"Ren! Ren! Halo?"
       "Kenapa?"
"Kamu lagi di mana?"
       "Baru di jalan, kenapa Git?"
"Itu, setelah kutanya banyak orang, ternyata si..."
       "Apa?"
Sigit tidak menjawab.
       "...Git? Sigit! Woy!" Kutengok, ternyata hand phoneku mati kehabisan baterai.
Aku menghela napas, Aku penasaran hal apa yang ingin dia beritahukan.
       "Dari Sigit?" Tanya Lea. Wow, dia mulai bertanya, itu merupakan sebuah kemajuan besar.
       "Ya, tapi hapeku mati," jawabku sambil menunjukkan layar hand phone yang gelap.
    
beberapa saat kemudian...

       Lea melirik ke depan sebentar, lalu mengeluarkan sebuah pensil dan buku tulis. Dia menulis di belakang sampulnya dengan cepat, dan memberikan bukunya padaku.

KELUAR, MOBIL.

 Dua kata itu sudah jelas memerintahkanku untuk keluar dari mobil. Tapi untuk apa?
      "Maksudmu?" Lea merebut buku itu dan menulis lagi.

AYAH, PERCAYALAH.

Aku semakin bingung. Ayah? Aku diminta mempercayai Ayah? Atau mempercayainya? Aku memutuskan untuk menggeleng, menolak permintaannya yang tidak jelas. Aku belum sepenuhnya percaya pada Lea, yang menurut perkiraanku bisa kapan saja berubah. Setelah kutolak permintaannya, raut muka Lea menjadi kacau.
      Aku bermaksud menenangkannya dan bertanya baik-baik. Ketika itu juga Aku melihat mobil Ayah melintas tepat di samping mobil yang kutumpangi. Aku melihat wajah iblisnya ketika itu juga, tapi kali ini dia tidak tersenyum. Lea juga menengok, tapi dia tidak terlihat terkejut sama sekali.
      "Kamu nyuruh Aku keluar biar Aku ikut Ayahku?"
"Bukan..."
      "Aku nggak nyangka kamu sekongkol sama orang itu, katamu tadi minta bantuanku?" Aku tidak memberi Lea kesempatan menjawab.

Ckiiit! Brakk! Aku dan Lea tiba-tiba terdorong ke sisi kiri jok belakang. Aku melihat, mobil yang kutumpangi menyerempet sisi depan mobil Ayah dan membuatnya mengerem tiba-tiba. Mobil-mobil lain di belakangnya tidak sempat menginjak rem dan menabrak mobil Ayah, berturut-turut seperti gerbong kereta.

----------------------------------- to be continued -------------------------------

No comments:

Post a Comment

Walkie Talkie