Bloggreeting

Bloggreeting!
Bloggreeting!

^o^

It sounds like birds around a tree.

Welcome to this blog!
Keep writing, keep believing! :)

PS: If you're suddenly feel dizzy or bored, it means I'm awesome. If you aren't, I'm more than it.

I'm real

My photo
Yogyakarta, Indonesia
One of chubbies. One of dwarfs.

Words I wanna die for

Why do you think life is happier than death? - Hashimoto, Silk

December 20, 2010

Jaring-jaring Ayah

Tali sepatuku lepas. Ini sudah yang kedua kalinya, simpul itu mempermainkanku. Aku merasa kasihan pada diriku sendiri saat mendekat dalam rangka menalikan tali sepatu. Sepatuku bahkan tidak berbentuk seperti sepatu lagi, ayahku yang seorang direktur sebuah televisi swasta tidak pernah membelikanku yang baru sejak kelas 3 SD dulu.
                 "Hoi Reno! Cepetan!" satu-satunya temanku di sekolah, Sigit memanggilku.
                 "Ya bentar!" Aku asal-asalan menali lalu berlari.
Sekolah menengahku sekolah negeri yang entah apa akreditasinya. Bertempat di pojok gang 100 meter dari jalan raya. Bel dari kentongan ketinggalan jaman memanggil, dengan bosan aku meletakkan tas kampungan motif  papan catur milikku dan duduk di kursi.
                 "Heh bocah," tegur Deni, 'teman' sekelasku yang super jangkung. "Gosip kalo ternyata kamu anak orang kaya itu beneran ya?"
Aku terdiam. Sigit yang sedang menghapus papan tulis kapur, langsung menengok ke arahku.
                 "Boleh dong, kasih uang sedikit," kata Deni sambil mencengkram bahuku.
                 "Aku nggak tau yang kamu maksud itu apa," balasku sambil mengalihkan pandangan.
                 "Yang nggak berdaya di sini cuma kamu, dan masih aja berani?"
                 "Jangan pegang-pegang, jerapah bodoh!"
Deni mendorongku sampai aku terjatuh dari kursi. Sigit berlari dan memukul Deni.Aku langsung berdiri dan menarik seragam Sigit.
                 "Oh," Deni menggulung lengannya, "Ternyata kamu jadi satpamnya, Git? Dibayar berapa tiap bulan?"
                 "Jangan macem-macem!"
                 "Udah, Git," aku menarik seragamnya sekali lagi, memastikan tidak ada pukulan melayang.
Deni tertawa lantang menandakan dia meremehkanku, di sini tidak ada yang bisa mengalahkan pengaruhnya.
               Ulangan hari ini super susah seperti ulangan-ulangan sebelumnya. Hafie menyalurkan selembar sobekan kertas berisi kunci jawaban dari Lea, si ranking satu. Aku ragu-ragu saat menerimanya. Guru pengawas tertidur pulas, aku tidak butuh banyak gerakan mencurigakan untuk mendapat nilai bagus.

sepulang sekolah...
         
              "Nilaiku bagus!" Seru Deni di sebelah Lea.Aku hanya memperhatikannya sekilas dan pergi.
Saat menyeberangi jalan, aku melihat sedan hitam terparkir di tempat biasanya. Aku lari, membuka pintu, lalu masuk dengan cepat.
             "Siang," sapa Pak Narto.
"Siang, ayah udah pulang?"
             "Ya, baru 20 menit di rumah," mobil mulai berjalan.
Mobilku melewati Lea, yang dengan wajah tertunduk berjalan di atas trotoar. Kucirannya dua berantakan, dan kacamatanya sudah berkarat pula. Cewek yang malang.
             Rumah super ramai, rupanya ayah masih senang dengan penyambutan yang isinya sebagian besar omong kosong itu.Aku, mau tidak mau masuk rumah lewat tenda besar, orang-orang berjas, dan prasmanan. Tiba-tiba seseorang memegang tanganku.Aku membalikkan badanku dan,
            "A, ayah?"
Pria tegap jebolan militer Amerika ini berdiri di depanku sekarang. Beberapa orang memperhatikan kami.
            "Lihat ulangannya," Ayah menjulurkan tangan meminta kertas kusut yang kugenggam.
            "Ha? Maksud Ayah apa..."
Ayah merebutnya dari tanganku, membuka lipatannya dengan cepat dan memukul wajahku.
            "Pak!" Pak Narto datang dan memegang tangan Ayahku.
Beberapa orang berteriak pelan dan berbisik-bisik. Aku menjadi badut di acara ini.
            "Kamu sekolah di sekolah terjelek yang bisa Ayah temukan, dan masih saja mencontek!?"
"Aku nggak nyontek," aku mulai menangis.
            "Ayah tahu semua yang kamu lakukan di sekolah, di rumah, di manapun."
"..." Aku meraba pipiku yang merah dan perih.
             "Pak, di sini banyak tamu," kata Pak Narto.
Ayah melirikku dan melangkah pergi. Aku masih terisak, membiarkan kertas ulangan tadi tergeletak di lantai karpet. Aku bersumpah dalam hati, aku akan membalas laki-laki ini, tidak peduli dia Ayahku atau siapa pun.

-----------------------------------------to be continued----------------------------------------
  

No comments:

Post a Comment

Walkie Talkie